Dari Bandung hingga New York, pojok Yogyakarta
hingga Perth, mereka melanglang dengan merdeka sembari memetik rezeki
dari hobi. Jalan mereka adalah indie—independen—emoh terikat pada
industri pasar. Jagat mereka selebar bola dunia, dipertalikan oleh
seutas benang merah: kreativitas diri. Sambutlah mereka, Generasi
Indie, yang kian melintas dunia.Datanglah ke Bandung,
kapan-kapan. Sempatkan tengok bekas gudang tentara di Jalan Gudang
Selatan—10 menit bermobil dari downtown Cipaganti yang sohor. Di
kompleks kusam yang dipadati bangunan keropos itu, beberapa anak muda
menghabiskan hidupnya selama lima tahun terakhir. Salah satu pojok
gudang—silakan cek—mereka sulap menjadi ”nirwana kreativitas” bagi 347,
ini distro, distribution outlet, terkemuka di Bandung yang telah
menggapai Perth, Australia, New Zealand, Singapura.
Mereka menyewa sebidang lantai cukup luas di bekas gudang tentara itu.
Tapi jantung Distro 347 berdebar di satu ruangan 35 meter persegi
berdinding putih. Isinya, tiga desainer, satu laptop, satu set drum
musik merah menyala—biasa digebuk di sela-sela kebosanan. Satu
dispenser. Tiga meja, tiga kursi. Itu saja. Ah, ada beberapa majalah
grafis. ”Ini tempat main gue, tempat otak terus bernyala,” ujar Dendy
Darman, 33 tahun, pendiri Distro 347. Di dekatnya, duduk Yuriza Kenobi.
Anli Rizandi ada di ruangan lain, sedang memencet-mencet telepon.
Dari ruangan itu, dari gudang itu, mereka bertamasya visual mengendus
tren-tren di New York, London, Tokyo, sembari mengendalikan jaringan
347. ”Apa yang keluar di New York hari ini, bisa kami buat di hari yang
sama di Bandung,” ujar Dendy dengan santai. Ribuan karya grafis
rancangannya, kaus sampai sampul album band indie, kemasan kaus sampai
kantong kresek, lahir di gudang tentara itu. Industri kaus
terbirit-birit meniru rancangan mereka, yang berhasil menghidupkan
komunitas pencinta produk indie. Setidaknya, di kawasan Bandung dan
sekitarnya.
Kini berumur 10 tahun, omzet 347 menurut Dendy sekitar Rp 700 juta-Rp 1
miliar per bulan. Bercanda? Serius! Mereka mempekerjakan sekitar 50
karyawan. Ruang pamer sekaligus tokonya ada di Jalan Trunojoyo dan
Jalan Citarum, Bandung. Sebagian hasil penjualan digunakan untuk
subsidi kegiatan komunitas indie di berbagai kota: pameran foto dan
desain, pentas musik, produksi majalah.
Bandung cuma satu jendela untuk mengintip derak komunitas indie yang
kian menjalar di berbagai kota. Distro mereka ada di mana-mana. Sekitar
900 di Bandung, 500-an di Jakarta, dan 60 lebih di Yogyakarta. Lalu,
Makassar, Medan, Surabaya.
Pelakunya rata-rata belia atau mengawalinya dari usia muda. Ada Chepoy,
Andi Bogel, 24 tahun. Jelita, 19 tahun, Olip Reynaldis, 23 tahun.
Memilih jalan indie, independen, mereka emoh didikte arus utama
industri pasar dalam urusan produk dan kreativitas. Ekspresif, berani
tampil beda, percaya seisi dunia bisa dirangkul, adalah beberapa
cirinya. Mereka mewakili fenomena anak muda paling asyik saat ini:
hobinomik. Dari hobi, duit dipanen. Dari hobi, rezeki dipanggil.
Hobinomik bukan istilah kosong.
Hasil penelitian terbaru ”Youthology”, yang digelar Ogilvy Public
Relations di Jakarta, 2006, merekam denyut kehidupan anak muda kita.
Selama ini boleh dikata belum ada riset komprehensif untuk
menggambarkan ”anatomi” anak muda Indonesia—kini sekitar 44 juta jiwa
atau 20 persen populasi. ”Kita cuma samar-samar mengerti mereka,” kata
Wan Lie, anggota tim Ogilvy.
Riset digelar di Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, Makassar, Medan,
dan Yogyakarta. Total responden ada 385 pasang anak muda berusia 15-24
tahun. Mereka diwawancarai secara mendalam berkali-kali. Sebagian
responden diikuti irama hidupnya secara intensif.
Hasilnya? Sebagian besar responden, 61 persen, menjalani hidup dengan
gaya DIY—do it yourself dan do what you love. Pendek kata, gue banget.
Kumaha aing, kata orang Bandung. Intinya, gue bisa bikin baju, sepatu,
musik, aksesori, film, majalah. Apa saja yang disuka. ”Semangat
independen, antikemapanan, menjadi tema utama anak muda,” kata Wan Lie.
Dan, hobinomik adalah muaranya.
Mayoritas responden, 92 persen, menjadi pelaku atau mengenal kawan
kerabat yang memetik rupiah lewat hobi. Ada perancang busana,
fotografi, pemandu sorak, perancang situs web, pemandu musik (disc
jockey), sampai menjadi ilustrator film animasi dan melakukan
modifikasi motor.
Penelusuran Tempo di lapangan mengukuhkan hasil riset Ogilvy. Hobinomik
kencang bergerak, terutama pada komunitas bawah tanah (underground).
Distro, yang menjamur beberapa tahun belakangan, salah satu patokannya.
Toko khas anak muda ini tersebar sampai ke gang sempit, unjuk gigi di
latar-latar urban.
Perkenalkan, Jelita Dian Andini dari Jakarta. Usia 19 tahun. Hobinya
menggambar. Hobi ini ia tuang ke dalam rancangan busana elektrik
mencolok dengan sentuhan segar ala Harajuku, gaya bebas ala anak muda
Jepang. Dia dibutuhkan di prom night (malam perpisahan sekolah), pensi
(pentas seni), acara bintang iklan klip video band, sampai kompetisi
pencarian penyanyi pop. Dia menata busana para remaja sebelum naik
panggung. Jelita dibayar, tentu saja—sekitar Rp 500 ribu per bulan dari
urusan poles-memoles baju.
Dia juga bisa memaksa orang merogoh dompet lebih dalam. Baju-baju
rancangannya dilepas di atas setengah juta rupiah per potong. Tahun
lalu, ”Saya meluncurkan busana dengan label Nii Production,” kata si
nona dengan bangga.
Dia dan ribuan anak muda lain yang mencemplungkan diri ke wilayah
hobinomik menunjukkan satu hal: hukum besi ekonomi berlaku pada segala
zaman. Pasar hobinomik terbuka luas karena ada permintaan. Satu hal,
mereka tidak sudi didikte. Andy Bogel, 24 tahun, pemilik Distro
Insomnia di Kemang, Jakarta Selatan, bilang: ”Setiap desain kaus atau
baju maksimal kami buat dua lusin. Laku nggak laku, pokoknya segitu,”
ujarnya kepada Tempo.
Filosofi do it yourself membuat anak-anak muda itu tak mudah terpikat
oleh merek. ”Yang penting bukan merek, tapi gaya elo sendiri,” kata
Aztri Wulandari, 19 tahun, mahasiswa Universitas Atmajaya, Yog-yakarta.
Mengenakan baju bermerek, selain mahal, juga berisiko dikembari orang
lain. Apatah lagi baju versi Mangga Dua. ”Itu baju sejuta umat. Nggak
banget, deh,” kata Aztri. Walhasil, distro yang menjajakan segala macam
kebutuhan anak muda—busana, musik, film, aksesori, majalah—menjadi
alternatif segar.
Hobinomik pun mendapat tempat.
Ideologi gue banget juga membuat Jakarta bukan lagi kiblat tren anak
muda. Sebagian besar responden riset Ogilvy, 62 persen, menyatakan
sayonara kepada Jakarta sebagai pusat tren. Berkat televisi dan
Internet, tren terbaru, baik yang arus utama (mainstream) maupun bawah
tanah (underground) di London, New York, Milan, Tokyo, bisa diendus
setiap saat.
Sayonara buat Jakarta membikin ciri khas lokal berkibar. Koleksi distro
di Yogya, misalnya, desainnya lebih berani, warnanya lebih mencolok
di-banding barang-barang keluaran Jakarta dan Bandung. ”Kami nggak
mungkin merancang fashion ala distro di Bandung, yang sebagian besar
orangnya berkulit kuning,” kata Aditya Dhenni, pemilik Distro Mail Box,
Yogyakarta.
Di dunia indie, mereka merayakan keragaman.
Gustaff Iskandar, pengelola Bandung Center for Media Arts, berpendapat
senada. ”Anak muda sekarang lebih menghargai perbedaan,” katanya.
Mereka tumbuh dan mengalami dampak krisis ekonomi dan politik, 1998.
Karya-karya beragam adalah jurus mereka untuk bertahan, survival.
Meminjam istilah Gustaff, ”Mereka tidak terikat pada pakem
konvensional.”
Alhasil, karya mereka tersedia bagi siapa saja. Yang gendut, buntet,
langsing, hitam, kuning langsat, semua diberi tempat. Semacam
”antitesis” bagi industri fashion konvensional yang mengutamakan model
”kutilang darat”: kurus, tinggi, langsing, berdada rata.
Gustaff juga memandang anak muda sekarang punya ruang lebih untuk
multi-identitas. Pagi jadi anak kuliahan, siang main di klub basket,
malam ikut pengajian di musala. ’Dugem’ di klub malam pun bukan soal
tabu. Kotak-kotak identitas menjadi lentur. ”Setiap orang menjadi
individu yang unik dan berwarna,” Gustaff menambahkan.
Pada galibnya, mereka juga motor perubahan. Danny Satrio, redaktur
majalah Hai, membenarkan bahwa anak muda abad ke-21 jauh lebih
ekspresif dan percaya diri. ”Mereka nggak malu tampil, biarpun keahlian
masih cethek,” kata Danny.
Para yunior ini, sebagian dari mereka adalah tulang punggung Generasi
Indie, umumnya diperanakkan oleh ge-nerasi pascaperang. Orang tua
mereka adalah saksi rezim pemerintahan Soeharto, yang menyeragamkan
banyak segi kehidupan: sedikit berpikir melenceng dicap subversif.
Taraf pendidikan dan ekonomi bertumbuh. Dan para senior tak sudi
anak-cucu mereka tumbuh dalam kekangan. Walhasil, ”Mereka lebih
demokratis, lebih santai, lebih longgar mengawasi anak-anak,” kata
Darmanto Jatman, budayawan dan psikolog di Semarang, Jawa Tengah.
Aspek demografi dan budaya pop bisa digunakan untuk memotret perubahan
karakter anak muda seperti yang dicontohkan Darmanto di atas.
Diennaryati Tjokrosuprihartono, psikolog khusus remaja, di Jakarta,
juga meyakini bahwa kepercayaan masyarakat membuat anak muda sekarang
lebih kaya inisiatif dan percaya diri.
Diennar juga setuju bahwa anak muda era milenium lebih dinamis dan
punya banyak pilihan menjalani hidup. Tapi, ”Tidak sedikit remaja yang
terjerat narkoba, tawuran, seks bebas, dan bunuh diri,” katanya.
Pendulum perubahan tidak melulu mengarah pada sisi cerah.
Remy Silado, pengelola Aktuil, majalah yang amat populer pada tahun
70-an, adalah salah satu saksi perubahan anak muda. Menurut Remy,
sebelum tahun 60-an anak muda cenderung membebek tren luar negeri.
Kiblat Amerika begitu kental hingga di zaman itu ada Gang
Tangkiwood—meniru-niru Hollywood—di Jakarta Barat, tempat para seniman
nongkrong. Grup-grup band ketika itu riuh menirukan gaya Beatles. A
Riyanto manggung dengan berteriak ”ji, ro, lu, pat...auw..!”—terilhami
pekikan John Lennon, ”one, two, three, four....auw...!”
Soal fashion juga tiru-tiru. Model baju diambil dari majalah yang
dibeli kawan yang baru pulang dari luar negeri. Pernah pamor bintang
film James Dean meroket dengan celana jins macho. Apa daya, di
Bandung-Jakarta model begini belum beredar. Apa akal? ”Kami datang ke
penjahit khusus, cari kain paling mirip, bikin celana jins,” kata Remy.
Penyair Sutardji Chalzoum Bachri, kata Remy mengenang, waktu itu bangga
sekali memakai jins van Bandung.
Lalu datang era 70-an dan 80-an. Iklim antikemapanan ala punk kencang
bertiup. Grup band yang menomorsatukan disharmoni, seperti Velvet
Underground dan The Sex Pistols, menjadi idola. Anak-anak muda mulai
bergaya ngepunk dengan rambut jabrik—semangat yang masih terasa sampai
kini. Beberapa pekan lalu sekelompok anak muda bergaya punk ditangkap
polisi di Denpasar: mereka menyanyikan syair lagu yang menghina korps
polisi.
Iklim tiru-meniru masih kental hingga dekade 1990 sampai sekarang.
Tapi, hei, apa sih di dunia ini yang seratus persen orisinal? Menurut
Dendy Darman, tren desain grafis terkini malah cut and paste. Ambil
sedikit dari sini, gabungkan dengan itu. Beri bumbu kreativitas.
Jebret..., jadilah gaya baru yang lebih segar.
Kiblat anak muda 90-an juga lebih luas. Grup F-4 dari Taiwan, manga
(komik) Jepang, gaya hip-hop New York, band indie di London, kelompok
punk di Jerman. Juga Yamasaki—klub olahraga ekstrem di kawasan urban
Prancis. ”Maka, terjadilah demokratisasi gaya,” kata Danny Satrio.
Vibrasi perubahan makin kuat oleh revolusi media.
Teknologi penyiaran. Perangkat digital. Komputer dan Internet.
Bermodal beberapa puluh ribu perak, film pendek bisa dibikin—tentu
dengan kamera pinjaman. Ini berbeda dengan tahun 70-an, kata Remy
Silado, ketika anak muda bermimpi menjadi bintang film.
Pada 1995, stasiun televisi musik, MTV, melanda Indonesia. Jargon ”gue
banget” yang diusung MTV pas betul dengan semangat muda. MTV rajin
menayangkan klip video band indie yang tidak bernaung di bawah industri
rekaman raksasa.
Dan... mampu membikin anak muda tergila-gila. Sheila on 7, Slank,
Endank Sukamti, Superman Is Dead, semuanya sukses di panggung indie.
”Mereka menjadi ilham bagi anak-anak muda,” kata Danny Satrio.
Harus diakui, tidak gampang bersetia pada jalur indie. Ketika bendera
sudah berkibar, orang mudah tergoda bergabung dengan selera pasar. Band
indie berganti panggung mainstream, distro beralih ke factory outlet.
Kekuatan pasar yang melibas komunitas indie bukan ceritera baru di
jalur industri modern. Walau ada saja, seperti beberapa anak muda di
gudang tentara itu, yang mencoba bertahan sedapat-dapatnya. Ini
sepotong obrolan Tempo dengan Dendy di ruang pamernya di Jalan Citarum,
dua pekan lalu:
+ Pernah mempertimbangkan alternatif produk massal untuk item-item baju terlaris?
- Tidak. Maksimal per desain 60 potong. Saya kan jualan attitude, bukan jualan baju.
+ Attitude siga kumaha, Kang. Yang bagaimana?
- Jadi diri sendiri! Nggak asyik kalau cuma membebek.
bersulang ahhh
http://www.tempointeraktif.com
|