Di Kota Bandung – bagi sebagian masyarakatnya – keberadaan berbagai
t-shirt seperti yang diperbincangkan di atas bisa jadi merupakan satu
hal yang lazim. Demikian juga dengan keberadaan geng motor tua, sepeda
bmx, penggemar musik hip-hop, musik elektronik, break dance, hardcore,
grindcore, sampai dengan komunitas penggemar musik punk yang tersebar
di beberapa tempat di sekitar pojokan kota. Dengan penampilan yang
spesifik, beberapa kelompok ini menyebar di sekitar kampus-kampus,
pojok-pojok jalan, diskotik, bar, daerah pertokoan, kamar kost, rumah
kontrakan, shooping mall, dan lain sebagainya. Di malam Minggu,
beberapa komunitas ini biasanya terlihat di sekitar Jalan Dago, Gasibu,
BIP, Cihampelas, sampai Jalan Braga. Di Bandung, kebanyakan orang
tampaknya memang masih punya banyak waktu luang untuk memikirkan
beberapa hal yang mendetail dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Beberapa hal detail yang kemudian bermuara pada beragam kecendrungan
akan gaya hidup, perilaku, dan berbagai aliran pemikiran.
Dadan Ketu, sebutlah demikian. Terlahir di Kota Bandung pada tahun
1973. Pemilik nama ini bukanlah figur yang asing lagi bagi mereka yang
akrab dengan komunitas underground Kota Bandung di era pertengahan
‘90-an. Bersama 8 orang temannya, pada sekitar tahun ‘96 ia
berinisiatif untuk membentuk sebuah kolektif yang kini dikenal dengan
nama Riotic. Melalui ketertarikan akan satu model ideologi yang sama,
komunitas ini kemudian mulai memproduksi musik rilisan mereka sendiri,
yang kemudian berkembang menjadi sebuah toko kecil yang menjual segala
macam pernak-pernik dari mulai kaset, merchandise band, t-shirt dan
lain sebagainya.
Lain lagi dengan Dede, yang bersama keempat temannya mendirikan
sebuah distro(2) yang bernama Anonim pada tahun 1999. Terutama karena
ketertarikan pada musik dan film, kelompok ini kemudian mulai menjual
t-shirt yang dipesan secara online melalui internet. Kini selain
menjual barang-barang import, mereka juga menjual kaset-kaset
underground dan produk-produk dari label clothing lokal, yang konon
kabarnya mencapai sekitar 100 label clothing yang muncul bergantian
seperti cendawan di musim hujan. Menurutnya, penjualan produk lokal
meningkat jumlahnya setelah terjadi krisis ekonomi pada tahun 1996,
yang menyebabkan harga barang impor meningkat dan semakin sulit didapat.
Riotic dan Anonim, dua nama ini adalah sedikit dari deretan
nama-nama seperti, Harder, Riotic, Monik Clothing, 347 Boardrider &
Co., No Label Stuff, Airplane Apparel System, Ouval Research, dan lain
sebagainya. Sejak pertengahan ‘90-an, di Kota Bandung memang
bermunculan beberapa komunitas yang menjadi produsen sekaligus
pelanggan tetap beberapa toko kecil - sebutlah distro - yang menjual
barang-barang yang tidak ditemui di kebanyakan toko, shooping mall, dan
factory outlet yang kini juga tengah menjamur di Kota Bandung. Berbekal
modal seadanya, ditambah dengan hubungan pertemanan dan sedikit
kemampuan untuk membuat dan memasarkan produk sendiri, kemunculan
toko-toko semacam ini kemudian tidak hanya menandai perkembangan scene
anak muda di Kota Bandung, tetapi juga kota-kota lain semisal Jakarta,
Yogyakarta, Surabaya, dsb.
Reverse: Markas Kecil di Sukasenang
Adalah Reverse, sebuah studio musik di daerah Sukasenang yang kemudian
dapat dikatakan sebagai cikal bakal yang penting bagi perkembangan
komunitas anak muda di Kota Bandung pada awal era ‘90-an. Di awal
kemunculannya pada sekitar tahun ‘94, semula Richard, Helvi, dan Dxxxt
(3 orang pendiri pertama dari Reverse), hanya memasarkan produk-produk
spesifik yang terutama diminati oleh komunitas penggemar musik rock dan
skateboard. Dapat dikatakan, komunitas ini kemudian merupakan simpul
pertama bagi perkembangan komunitas ataupun kelompok subkultur anak
muda pada saat itu. Ketika semakin berkembang, Reverse kemudian menjadi
sebuah distro yang mulai menjual CD, kaset, poster, artwork, asesoris,
termasuk barang-barang impor maupun barang buatan lokal lainnya.
Kemudian bermunculan sederet komunitas baru yang lebih spesifik
lagi. Dari yang semula hanya didatangi oleh penggemar musik rock dan
komunitas skateboard, Reverse mulai didatangi oleh beberapa kelompok
yang berasal dari scene yang lain. Dari yang meminati musik pop, metal,
punk, hardcore, sampai pada kelompok skater, bmx, surf dan lain
sebagainya. Belakangan, nama Reverse bermutasi menjadi Reverse Clothing
Company, yang sekarang ini dikelola oleh Dxxxt. Menurut Richard, selain
karena musik rock dan skateboard, saat itu kemunculan beragam komunitas
semacam ini juga didorong oleh keberadaan beberapa film seperti The
Warrior (Walter Hill/1979), BMX Bandit (Brian
Trenchard-Smith/1983),Thrashin (David Winters/1986), Gleaming The Cube
(Graeme Clifford/1989), dan film-film sejenis yang bercerita mengenai
berbagai macam komunitas anak muda di Barat (Eropa Barat &
Amerika).(3)
“Dulu gua kalo mau nyari posternya Frank Zappa nggak mungkin dapet
di tempat lain, pasti gua nyarinya ke Reverse!”, ujar Edi Khemod yang
merupakan drummer band cadas bernama Seringai, sekaligus seorang
penulis, produser rumah produksi Cerahati dan juga salah seorang
anggota dari Biosampler; sebuah kelompok seniman multimedia yang sering
muncul dalam aktifitas artistik di club scene kota Bandung dan Jakarta.
Kebutuhan yang spesifik semacam inilah yang kemudian tertularkan pada
beberapa komunitas dan distro-distro pada generasi sesudahnya. Kembali
menurut Richard, menurutnya mereka yang datang ke Reverse itu
kebanyakan mencari barang yang tidak terdapat di toko, shooping mall,
atau departemen store. Hal ini juga diakui oleh Dadan dan Dede. Menurut
mereka rata-rata yang datang ke distro itu orang-orang yang punya
kebutuhan spesifik yang berbeda dengan kebutuhan orang kebanyakan.
“Karena itu mereka mencari sesuatu yang lain, yang sulit ditemukan di
wilayah-wilayah yang lebih mapan”, ujar Richard dalam sebuah wawancara.
Untuk saya sendiri hal semacam ini tentu saja dapat dikatakan wajar.
Kebanyakan anak muda memang punya tabiat untuk selalu mencari
pengalaman yang baru dan berbeda.
Tampaknya dari kondisi yang spesifik semacam inilah, dinamika
perkembangan industri musik, termasuk perkembangan fashion anak muda di
Bandung selalu menemui banyak pembaharuan. Dari mulai jaman celana
jeans di Jalan Cihampelas, tas ransel Jayagiri, jaman kaos oblong C-59,
clothing lokal, band-band underground, distro, dan seterusnya sampai
sekarang. “Perjumpaan yang terus menerus dengan hal/orang/barang yang
sama, kadang-kadang menimbulkan perasaan jenuh/bosan/muak; bila tak
tertahankan lagi, orang ingin keluar/melepaskan diri dari situasi itu:
ingin tampil beda.” Demikian urai Yuswadi Saliya, seorang arsitek yang
tinggal di Bandung ketika membalas pertanyaan dalam email saya untuk
kasus ini. Saya pikir demikianlah adanya, Kota Bandung memang memiliki
segudang rutin yang memaksa setiap warganya untuk terus bergerak
mencari sesuatu yang baru dan berbeda. Kini beragam komunitas anak muda
di kota Bandung terus bermunculan. Tidak lagi di Sukasenang, tetapi
juga menyebar ke seluruh pelosok kota, mulai di bilangan Jalan
Setiabudi (Monik/Ffwd Records), Citarum (347/EAT – Room No. 1), Moch.
Ramdan (IF), Balai Kota (Barudak Balkot), Sultan Agung (Omuniuum),
Saninten (Cerahati/Biosampler), Kyai Gede Utama (Common Room/
tobucil/Bandung Center for New Media Arts dan Jendela Ide), sampai ke
daerah Ujung Berung (Ujung Berung Rebel/Homeless Crew), dsb.
“Karena Bandung kotanya kecil, jadi mau ngapa-ngapain gampang…lagian
orang-orangnya juga kekeluargaan, cair banget, baturlah, semua dianggap
sama.” Ujar Dede pada suatu kesempatan. Hal ini juga kembali disepakati
oleh Dadan Ketu. Menurutnya, mereka yang berusaha di bidang clothing
lokal tidak menemui kesulitan yang berarti ketika mereka harus
berproduksi. “Mau cari bahan gampang pisan, tinggal ke Jalan Otista,
Tamim, Cigondewah, Cimahi, Majalaya, terus tukang nyablon juga di sini
mah banyak pisan, jadi nggak susah.”, jelasnya.
Paska 1990: Desa Global, GMR, dan MTV
Tidak hanya di era ‘90-an – apabila kita lihat beberapa catatan di atas
– sejak awal kemunculannya harus diakui Kota Bandung memang banyak
menerima pengaruh dari Barat (Eropa Barat & Amerika). Namun, pada
periode berikutnya tidak dapat dipungkiri kalau ada pengaruh lain yang
tak kalah penting bagi perkembangan scene anak muda di Bandung, yaitu
media. Sebagai contoh di bidang musik misalnya, melalui tangan dingin
seorang Samuel Marudut (alm.), pada tahun ‘92-an sebuah radio yang
bernama GMR menjadi satu-satunya radio di Indonesia yang membuka diri
untuk memutarkan rekaman demo dari band-band baru yang ada di kota ini,
sehingga ikut memicu pertumbuhan scene musik yang ada pada saat itu.
Selain memicu pertumbuhan komunitas musik di Kota Bandung, radio ini
juga ikut mempopulerkan keberadaan beberapa band yang berasal dari luar
kota Bandung.
Selain itu, perkembangan di bidang teknologi media & informasi
juga secara radikal mampu mendorong perkembangan budaya kota di Bandung
kearah yang lebih jauh. Salah satu contohnya adalah perkembangan
teknologi rekaman yang memungkinkan band-band baru merekam musik mereka
dengan menggunakan komputer, sehingga tidak lagi harus bersandar pada
industri mainstream & produk impor. Saat ini, industri musik di
Bandung sudah biasa diproduksi di studio-studio kecil, rumah, maupun di
kamar kost. Selain itu, perkembangan di bidang teknologi informasi juga
memudahkan setiap komunitas yang ada untuk berhubungan dan mendapatkan
informasi yang mereka butuhkan. Melalui jaringan internet yang sudah
berkembang sejak tahun 1995-an, Kota Bandung saat ini sudah menjadi
bagian dari jaringan virtual yang semakin membukakan pintu menuju
jaringan global.
Kehadiran MTV pun setidaknya memiliki peran yang tidak sedikit,
karena melalui stasiun inilah beberapa band underground Bandung
mendapat kesempatan untuk didengar oleh publik secara lebih luas.
Selain itu, para presenter MTV siaran nasional pun tidak segan-segan
untuk memakai produk-produk dari clothing lokal yang berasal dari Kota
Bandung, sehingga produk mereka menjadi semakin populer. Dampaknya
tentu saja tidak kecil. Selama beberapa tahun terakhir warga Kota
Bandung mungkin sudah mulai terbiasa dengan jalan-jalan yang macet pada
setiap akhir minggu. Selain menyerbu factory outlet, para pengunjung
yang datang ke Kota Bandung pun biasanya ikut berbondong-bondong
mendatangi distro-distro yang ada, sehingga memicu pola pertumbuhan
yang penting, terutama dari segi ekonomi.
Melalui keberadaan beberapa komunitas anak muda yang senantiasa
menyediakan barang-barang yang mereka produksi secara mandiri,
setidaknya kita dapat melihat berbagai kumpulan tanda yang baru yang
berbeda dengan masa sebelumnya. Apabila pada masa sebelumnya komunitas
anak muda di Bandung sangat bergantung pada industri mapan dan berbagai
produk impor, saat ini beberapa komunitas yang ada sudah mampu
memproduksi kebutuhan mereka secara independen. Dalam beberapa
kesempatan, wacana budaya perlawanan (counter culture) pun kerap
mewarnai keberadaan komunitas ini. Diantara beberapa perilaku komunitas
anak muda yang disebutkan tadi, setidaknya kita bisa melihat ini
sebagai sebuah sikap politik yang membangun bentukan watak yang khas.
Bagi beberapa komunitas anak muda di Bandung, musik dan fashion saat
ini bukan lagi hanya sekedar trend. Musik dan fashion dapat juga
dilihat sebagai bentuk ekpresi kemandirian politik yang mampu
mengakomodasi berbagai aspirasi personal yang mereka miliki. Untuk itu,
saya rasa dalam konteks perbincangan mengenai perkembangan kelompok
subkultur di kota Bandung, sebetulnya musik dan fashion juga dapat
dilihat sebagai instrumen yang mampu menjelaskan berbagai pandangan dan
perbedaan yang menyertai keberadaan komunitas-komunitas ini.
Pertumbuhan yang pesat yang sangat ditunjang oleh keberadaan
beberapa media seperti stasiun TV, radio, majalah, fanzines, dan
terutama internet, terus saja mendorong perkembangan komunitas anak
muda di Bandung. Selain semakin memperjelas keberadaan beberapa
komunitas yang ada, kemunculan berbagai macam media juga menambah
perluasan jaringan sampai ke kota-kota lain di luar Bandung, malah
sampai ke luar negeri. Ketika mulai merilis kaset dibawah label 40124
pada pertengahan ’90-an, Richard mengaku pernah mendapatkan pesanan
kaset rilisannya dari seorang penggemar musik-musik underground dari
Jepang, yang kebanyakan memesan melalui internet. Lewat label 40124
ini, pada tahun 1996 Richard juga sempat merilis album kompilasi
legendaris yang diberi judul “masaindahbangetsekalipisan”, yang berisi
kumpulan lagu dari beberapa band lokal seperti Full of Hate, Rotten to
The Core, Sendal Jepit, Cherry Bombshell, Puppen, Balcony, dsb.
Sementara itu, Dadan Ketu menyatakan kalau sekarang ini memang sudah
sangat biasa kalau ada salah seorang pengunjung distro di Bandung
datang dari luar negeri, semisal Singapura atau Malaysia. “Mereka
datang biasanya langsung ngeborong, bawa kaset 100 biji untuk dijual
lagi di negeri asalnya, ada yang bayar kontan, ada juga yang nyicil,”
ujarnya.
Wujud dari terbentuknya jaringan yang meluas ini sebetulnya sudah
semakin terasa sejak tahun ‘97. Pada bulan Agustus 1997 sebuah label
rekaman punk dari Perancis yang bernama Tian An Men 89 Records merilis
sebuah kompilasi yang berjudul “Injak Balik! a Bandung HC/Punk comp”.
Kompilasi ini didukung oleh sejumlah band Bandung seperti Puppen,
Closeminded, Savor Of Filth, Deadly Ground, Piece Of Cake, Runtah,
Jeruji, Turtles Jr, dan All Stupid. Kebanyakan subject matter dari
musik dalam album kompilasi ini berisi berbagai statemen politik yang
disampaikan secara lugas oleh setiap band yang ikut terlibat di dalam
proyek ini. Tidak hanya berhenti di situ, pada tahun 1999, label lokal
yang bernama FastForward Records kemudian merilis beberapa album dari
band yang berasal dari luar negeri seperti The Chinkees (Amerika),
Cherry Orchard (Perancis), 800 Cheries (Jepang), dan lain sebagainya.
Menurut Marin, salah seorang pendiri dari FastForward Records,
setidaknya media-media komunikasi seperti internet, mesin fax dan
jaringan telepon punya andil besar dalam proses produksi album dari
band-band ini. Sekarang, label lokal yang merilis musik yang berasal
dari luar negeri sudah bukan barang yang aneh lagi. Malah, beberapa
band lokal di Bandung juga sudah banyak yang berkesempatan dirilis oleh
label di mancanegara. Beberapa diantaranya adalah Homicide, Domestik
Doktrin, Jasad, dsb.
Perluasan jaringan yang mempertautkan perkembangan di bidang musik
dan fashion dengan perkembangan media dan teknologi informasi ini
setidaknya melahirkan sebuah kombinasi perkembangan (kebudayaan) yang
baru, baik dari segi ideologi sampai pada manifestasinya dalam pola
kehidupan sehari-hari sebagian komunitas anak muda di Bandung. Hal ini
menunjukan bahwa bagaimanapun perkembangan yang ada di kota Bandung
tidak dapat dipisahkan begitu saja dengan setiap gejala perkembangan di
tingkat global. Seiring dengan perkembangan jaman, sampai saat ini
scene anak muda di Kota Bandung masih terus tumbuh untuk terus
melengkapi pola perkembangannya dengan wajah dan berbagai versinya yang
baru. Jangan kaget kalau tiba-tiba anda bertemu dengan sekelompok anak
muda dengan gaya yang identik dengan gaya anak muda di belahan dunia
yang lain. Kota ini memang sedari dulu sudah menjadi bagian dari
kota-kota lain di seluruh dunia.
|